Paradigma Baru Pesantren
Oleh : Syamsul Bahri, S.Pd.I
Guru Pondok Pesantren Al-Hidayah Toboali
Di dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa model-model pendidikan itu terbagi kepada tiga bagian yaitu pendidikan formal (SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA/MAK), pendidikan nonformal (pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik) dan pendidikan informal (pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri).
Selain dari jenis-jenis pendidikan di atas, ada satu model pendidikan lagi yang dimuat dalam undang-undang sisdiknas tersebut yaitu pendidikan keagamaan. Fungsi pendidikan keagamaan ini adalah mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya atau menjadi ahli ilmu agama. Sedangkan tujuan dari pendidikan keagamaan adalah untuk membentuk peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pendidikan keagamaan itu diselenggarakan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jenis pendidikan ini bisa diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan keagamaan itu sendiri berbentuk ajaran diniyah, pondok pesantren (lembaga pendidikan khusus bidang agama Islam), pasraman (lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu), pabhaja samanera (lembaga pendidikan khusus bidang agama Budha) dan bentuk lainnya yang sejenis. Di antara lembaga pendidikan keagamaan tersebut tampaknya pondok pesantren lebih banyak disoroti, mulai dari masalah sistem pengajarannya sampai ke masalah teroris. Padahal jika kita mau menyelami lebih dalam lagi tentang pondok pesantren tentunya kita akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang pondok pesantren itu sendiri.
Tipologi Pondok Pesantren
Pondok pesantren pada umumnya tergambarkan pada ciri khas yang biasanya dimiliki oleh pondok pesantren yaitu adanya pengasuh pondok pesantren (kyai/ajengan/tuan guru/buya/tengku/ustadz), adanya masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar, adanya santri yang belajar, serta adanya asrama sebagai tempat tinggal santri. Di samping empat komponen tersebut, hampir setiap pondok pesantren juga menggunakan kitab kuning (kitab klasik tentang ilmu-ilmu keislaman berbahasa Arab yang disusun pada abad pertengahan) sebagai sumber kajian. Adanya kajian kitab kuning ini juga yang terkadang membuat sebagian orang mengambil kesimpulan bahwa kalau sebuah pendidikan keagamaan tidak memakai kitab kuning dalam pembelajarannya, maka lembaga tersebut bukanlah pondok pesantren dan yang lebih parah lagi mereka menganggap bahwa pondok pesantren itu hanya mengajarkan ilmu agama saja.
Paradigma itulah yang selama ini melekat pada sebagian masyarakat umum dan hal itu juga yang menyebabkan masyarakat memandang pondok pesantren sebelah mata, sehingga efeknya mereka akan enggan menitipkan anaknya untuk mengikuti pendidikan di pondok pesantren, walaupun pondok pesantren itu juga melaksanakan pendidikan formal seperti sekolah-sekolah lainnya, kalau pun ada yang terlanjur masuk ke pondok pesantren itu hanya kebetulan dan keterpaksaan, karena tidak diterima disekolah lain atau mungkin karena anaknya tersandung kasus di sekolah asalnya. Kecenderungan seperti ini membuat kebanyakan pondok pesantren itu hanya dijadikan “bengkel” untuk memperbaiki manusia, yang tidak mampu dilakukan sekolah lain.
Sebenarnya anggapan itu sangat keliru, sebab seiring dengan perkembangan zaman penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren juga mengalami inovasi dan pekembangan, baik dari metode pembelajarannya sampai kepada kurikulum (bahan ajar) yang dipakai serta program-programnya. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya pondok pesantren yang sudah mengesampingkan kitab kuning (diganti dengan buku yang bahasannya hampir sama dengan kitab kuning) namun masih bisa dikatakan pondok pesantren karena memenuhi empat kriteria yang disebutkan di atas tadi. Dan juga ada pondok pesantren yang sudah melaksanakan pendidikan formal mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai menengah. Oleh karena itu lahirlah apa yang disebut pondok pesantren shalafiyah (tradisional) dan pondok pesantren khalafiyah (modern).
Di dalam buku Petunjuk Teknis Pesantren (Departemen Agama RI : 2004) disebutkan pengertian pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan khas pondok pesantren, baik kurikulum maupun metode pendidikannya. Bahan ajar meliputi ilmu-ilmu agama Islam dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing santri. Pembelajaran dengan cara sorogan, wetonan dan bandongan masih tetap dipertahankan, tetapi tidak sedikit yang sudah menggunakan sistem klasikal. Sedangkan pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang mengadopsi sistem madrasah atau sekolah umum, kurikulum disesuaikan dengan kurikulum pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, melalui penyelenggaraan MI atau SD, MTs atau SMP dan MA/MAK atau SMA/SMK. Bahkan ada pula yang sampai tingkat perguruan tinggi.
Harus diakui pada mulanya pondok pesantren memang merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam saja. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak hanya mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pondok pesantren sekarang tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespon carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.
Setelah mengetahui pengertian dan perkembangan pondok pesantren di atas maka salah besar jika kita masih beranggapan bahwa lembaga pendidikan pondok pesantren itu bersifat tradisional dan ketinggalan zaman, dan suatu kekeliruan juga paradigma sebagian orang yang menganggap pondok pesantren lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan santrinya ilmu agama saja atau kitab kuning saja, lembaga yang mengekang kehidupan santrinya, lembaga yang membuat manusia menjadi kolot. Harapan kita paradigma-paradigma seperti itu perlahan-lahan akan berubah. Semoga. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar