Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Selamat Datang di Blog saya!
Welcome atau kata orang Arab "Ahlan Wa Sahlan"
Semoga bisa memberikan manfaat!!! Amin.

Jumat, 26 Agustus 2011

Sedekah Ekstrem (Rubrik Opini Bangka Pos, 15 April 2011)


Sedekah Ekstrem
Oleh : Syamsul Bahri, S.Pd.I
Kepala MTs Al-Hidayah Toboali

           
            Sebagai umat Islam tentunya kita sadar bahwa harta adalah milik Allah. Dia dapat memberikan harta itu kepada siapa saja atau mengambilnya dari siapa saja. Oleh karena itulah kita harus faham juga bahwa harta yang dimiliki adalah bersifat titipan belaka. Maka jika kita sadar dan faham harta adalah milik Allah yang dipercayakan kepada kita, sudah seharusnya kita wajib memperhatikan petunjuk Allah untuk mempergunakan harta tersebut, melalui syariat Islam.
Dalam syariat Islam diajarkan bahwa dalam harta yang kita miliki terdapat hak orang lain, selain zakat. Artinya sekalipun harta yang kita peroleh dari kerja keras, banting tulang dalam mendapatkannya, namun dalam harta itu terdapat hak fakir miskin, anak yatim dan kerabat lain yang membutuhkan. Dan karena itu pula agama Islam menganjurkan umatnya untuk menyedekahkan sebagian harta yang dimilikinya. Hal ini juga menjadi bukti bahwa umat Islam mempunyai sifat sosial dan rasa saling tolong menolong sangat tinggi.
Sedekah itu sendiri berasal dari bahasa Arab shodaqoh yang artinya memberi. Menurut Al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi shodaqoh berasal dari kata shidq yaitu benar. Benar di sini adalah benar dalam hubungan atau sejalan antara perkataan dan perbuatan. Sedangkan arti terminologinya sedekah yaitu memberikan sesuatu barang atau harta benda kepada orang lain yang membutuhkan dengan tidak mengharap imbalan dan dengan niat ikhlas karena Allah. Karena itu ketika bersedekah hendaknya kita tidak mengharap balasan, imbalan atau pengganti dari orang lain,  hanya pahala dari Allah-lah yang kita harapkan.
Dalam pengertian yang lebih luas sedekah itu tidak terbatas hanya menginfakkan harta yang kita miliki saja, karena segala kebaikan yang kita lakukan juga bisa dikategorikan sedekah. Jadi sedekah itu bisa berupa uang, makanan, pakaian, dan benda-benda lain yang bermanfaat. Selain itu sedekah juga bisa berbentuk sumbangan pemikiran, tenaga, waktu, perkataan baik, pemberian maaf dan bentuk jasa lainnya. Jadi segala perbuatan yang baik dan membuat orang lain senang dapat dikatakan sedekah. Bahkan Nabi Muhammad dalam sebuah haditsnya mengatakan bahwa senyum itu adalah sedekah. Satu lagi yang perlu kita ingat bahwa dalam bersedekah seharusnya kita memberikan barang yang terbaik yang kita miliki jangan bersedekah dengan barang yang terburuk dari yang kita punya.
            Fenomena di atas benar adanya, karena sudah menjadi kebiasaan jika kita mau memberikan barang kepada tetangga atau teman maka barang yang kita beri dipilih dahulu setelah ada sisanya baru kita berikan atau kalau mau dijual barang itu sudah tidak layak untuk dijual atau disortir dahulu. Inilah kesalahan yang sangat mendasar yang sering kita lakukan. Padahal Nabi Muhammad jelas-jelas memberikan teladan tentang sedekah ini, yaitu ketika beliau dengan rela memberikan barang miliknya kepada seorang sahabat yang menginginkan barang tersebut, padahal barang tersebut merupakan kesayangan beliau karena merupakan pemberian isterinya Aisyah.
            Tidak cukup hanya itu saja karena dalam bersedekah itu kita harusnya mempunyai niat ikhlas, jangan ada niat ingin dipuji (riya), pamer atau mau dianggap dermawan. Juga tidak boleh menyebut-neyebut sedekah yang sudah dikeluarkan, menghina, mengolok-olok sehingga menyakiti hati orang yang diberi. Hal tersebut akan menyebabkan sedekah yang kita keluarkan akan sia-sia, menghapus segala pahala sedekah dan tidak akan diterima Allah. Tentunya kita masih  ingat dengan firman Allah dalam Alquran “Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”. (Q.S. 2 : 262).
Sedekah Ekstrem
            Di dalam Islam sedekah terbagi kepada dua yaitu sedekah wajib dan sedekah sunah. Sedekah wajib adalah zakat sedangkan sedekah sunah adalah sedekah yang kita keluarkan  selain zakat. Sedekah sunah juga dibagi beberapa bagian, antara lain yang sering kita dengar istilah sedekah jariyah, sedekah kepada anak yatim dan lain seabagainya. Kemudian ada istilah sedekah yang terbaru yang disebut sedekah ekstrem. Lalu apa yang dimaksud dengan sedekah ekstrem itu?
            Sedekah ekstrem adalah sedekah dengan harta terbaik yang kita miliki dan dengan keyakinan yang tinggi akan balasan yang telah dijanjikan Allah dalam Alquran, yaitu balasan dengan beberapa kali lipat. Sedekah ekstrem ini terinspirasi dari ayat Alquran Surat Al Baqarah ayat 261. Dalam ayat ini kita disuruh menyedekahkan harta kita yang terbaik. Dalam ayat ini juga Allah secara jelas menyebut perhitungan matematis saat kita mengeluarkan harta untuk sedekah. Jika menurut perhitungan matematis itu berarti sedekah kita akan dibalas hingga tujuh ratus kali lipat, kemudian di akhir ayat Allah menekankan akan membalas sedekah itu dengan bagi siapa yang dikehendakinya.
            Kita tentunya belum lupa dengan apa yang dilakukan oleh Briptu Norman Kamaru Anggota Polisi di Gorontalo yang melakukan lipsync lagu India dengan niat menghibur. Akibat aksi tidak sengajanya yang kemudian diunggah melalui you tube membuat anggota polisi ini menjadi terkenal dan diundang di berbagai stasiun televisi di tanah air. Inilah bukti bahwa Allah itu tidak mengingkari janjinya, ketika Briptu Norman Kamaru melakukan itu tentunya beliau berfikir itu hanya iseng, namun di sisi Allah itu dianggap sebagai sedekah karena mau menyenangkan orang lain, maka Allah tidak segan-segan membalasnya dengan balasan yang lebih baik lagi. 
            Kisah Briptu Norman di atas merupakan salah satu tamsil dari sekian banyak tamsil yang bisa diambil hikmahnya dan patut untuk kita tiru. Sekarang coba kita berfikir, sedekah yang tidak sengaja seperti yang dilakukan oleh Briptu Norman di atas saja akan mendapatkan balasan dari Allah, lalu bagaimana jika sedekah itu kita niatkan dan benar-benar kita lakukan dengan ikhlas serta tanpa ragu-ragu mengeluarkan apa yang terbaik yang kita miliki? Tentunya akan mendapatkan pahala yang lebih baik lagi. Jadi mulai sekarang mari kita tanamkan dalam hati untuk terus bersedekah dan mencoba mempraktikkan sedekah ekstrem ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Selamat mencoba.***

Paradigma Baru Pesantren (Rubrik Opini Bangka Pos, 11/3/2011)


Paradigma Baru Pesantren
Oleh : Syamsul Bahri, S.Pd.I
Guru Pondok Pesantren Al-Hidayah Toboali

Di dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa model-model pendidikan itu terbagi kepada tiga bagian yaitu pendidikan formal (SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA/MAK), pendidikan nonformal (pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik) dan pendidikan informal (pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri).
Selain dari jenis-jenis pendidikan di atas, ada satu model pendidikan lagi yang dimuat dalam undang-undang sisdiknas tersebut yaitu pendidikan keagamaan. Fungsi pendidikan keagamaan ini adalah mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya atau menjadi ahli ilmu agama. Sedangkan tujuan dari pendidikan keagamaan adalah untuk membentuk peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Pendidikan keagamaan itu diselenggarakan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jenis pendidikan ini bisa diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan keagamaan itu sendiri berbentuk ajaran diniyah, pondok pesantren (lembaga pendidikan khusus bidang agama Islam), pasraman (lembaga pendidikan khusus bidang agama Hindu), pabhaja samanera (lembaga pendidikan khusus bidang agama Budha) dan bentuk lainnya yang sejenis. Di antara lembaga pendidikan keagamaan tersebut tampaknya pondok pesantren lebih banyak disoroti, mulai dari masalah sistem pengajarannya sampai ke masalah teroris. Padahal jika kita mau menyelami lebih dalam lagi tentang pondok pesantren tentunya kita akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang pondok pesantren itu sendiri.
Tipologi Pondok Pesantren
Pondok pesantren pada umumnya tergambarkan pada ciri khas yang biasanya dimiliki oleh pondok pesantren yaitu adanya pengasuh pondok pesantren (kyai/ajengan/tuan guru/buya/tengku/ustadz), adanya masjid sebagai pusat kegiatan ibadah dan tempat belajar, adanya santri yang belajar, serta adanya asrama sebagai tempat tinggal santri. Di samping empat komponen tersebut, hampir setiap pondok pesantren juga menggunakan kitab kuning (kitab klasik tentang ilmu-ilmu keislaman berbahasa Arab yang disusun pada abad pertengahan) sebagai sumber kajian. Adanya kajian kitab kuning ini juga yang terkadang membuat sebagian orang mengambil kesimpulan bahwa kalau sebuah pendidikan keagamaan tidak memakai kitab kuning dalam pembelajarannya, maka lembaga tersebut bukanlah pondok pesantren dan yang lebih parah lagi mereka menganggap bahwa pondok pesantren itu hanya mengajarkan ilmu agama saja.
Paradigma itulah yang selama ini melekat pada sebagian masyarakat umum dan hal itu juga yang menyebabkan masyarakat memandang pondok pesantren sebelah mata, sehingga efeknya mereka akan enggan menitipkan anaknya untuk mengikuti pendidikan di pondok pesantren, walaupun pondok pesantren itu juga melaksanakan pendidikan formal seperti sekolah-sekolah lainnya, kalau pun ada yang terlanjur masuk ke pondok pesantren itu hanya kebetulan dan keterpaksaan, karena tidak diterima disekolah lain atau mungkin karena anaknya tersandung kasus di sekolah asalnya. Kecenderungan seperti ini membuat kebanyakan pondok pesantren itu hanya dijadikan “bengkel” untuk memperbaiki manusia, yang tidak mampu dilakukan sekolah lain.
Sebenarnya anggapan itu sangat keliru, sebab seiring dengan perkembangan zaman penyelenggaraan pendidikan di pondok pesantren juga mengalami inovasi dan pekembangan, baik dari metode pembelajarannya sampai kepada kurikulum (bahan ajar) yang dipakai serta program-programnya. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya pondok pesantren yang sudah mengesampingkan kitab kuning (diganti dengan buku yang bahasannya hampir sama dengan kitab kuning) namun masih bisa dikatakan pondok pesantren karena memenuhi empat kriteria yang disebutkan di atas tadi. Dan juga ada pondok pesantren yang sudah melaksanakan pendidikan formal mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai menengah. Oleh karena itu lahirlah apa yang disebut pondok pesantren shalafiyah (tradisional) dan pondok pesantren khalafiyah (modern).
Di dalam buku Petunjuk Teknis Pesantren (Departemen Agama RI : 2004) disebutkan pengertian pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang masih tetap mempertahankan sistem pendidikan khas pondok pesantren, baik kurikulum maupun metode pendidikannya. Bahan ajar meliputi ilmu-ilmu agama Islam dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing santri. Pembelajaran dengan cara sorogan, wetonan dan bandongan masih tetap dipertahankan, tetapi tidak sedikit yang sudah menggunakan sistem klasikal. Sedangkan pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang mengadopsi sistem madrasah atau sekolah umum, kurikulum disesuaikan dengan kurikulum pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, melalui penyelenggaraan MI atau SD, MTs atau SMP dan MA/MAK atau SMA/SMK. Bahkan ada pula yang sampai tingkat perguruan tinggi.
Harus diakui pada mulanya pondok pesantren memang merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam saja. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak hanya mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pondok pesantren sekarang tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespon carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.
            Setelah mengetahui pengertian dan perkembangan pondok pesantren di atas maka salah besar jika kita masih beranggapan bahwa lembaga pendidikan pondok pesantren itu bersifat tradisional dan ketinggalan zaman,  dan suatu kekeliruan juga paradigma sebagian orang yang menganggap pondok pesantren lembaga pendidikan yang hanya mengajarkan santrinya ilmu agama saja atau kitab kuning saja, lembaga yang mengekang kehidupan santrinya, lembaga yang membuat manusia menjadi kolot. Harapan kita paradigma-paradigma seperti itu perlahan-lahan akan berubah. Semoga. ***

Haruskah Madrasah Dibedakan? (Rubrik Opini Bangka Pos, 27 Mei 2011)


Haruskah Madrasah Dibedakan?
Oleh : Syamsul Bahri, S.Pd.I
Kepala MTs Al-Hidayah Toboali


            Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang dari waktu ke waktu senantiasa menghadapi berbagai macam problem, baik yang datang dari luar maupun dari dalam madrasah sendiri. Problem itu mulai dari lemahnya administrasi sampai dengan kurangnya pembiayaan. Namun problem yang paling susah diatasi sampai dengan sekarang yaitu dikotomi kedudukan antara madrasah dengan sekolah umum, hal inilah yang akhirnya membuat adanya diskriminasi terhadap madrasah.
            Meskipun dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara gamblang dijelaskan bahwa antara sekolah umum dan madrasah mempunyai kedudukan yang setara, yaitu sama-sama sebagai lembaga pendidikan yang diakui pemerintah, namun faktanya masih ada sikap dan perlakuan yang bertentangan dengan konsep kesetaraan tersebut. Contoh yang bisa kita ambil untuk mengindikasikan adanya diskriminasi tersebut adalah kurang proporsionalnya perhatian pemerintah terhadap madrasah dibanding dengan sekolah umum. Misalnya ketika sekolah umum membutuhkan gedung baru maka pemerintah dengan  cepat akan membantunya, namun perlakuan kontradiktif sering diterima oleh madrasah ketika menginginkan gedung yang baru.  Satu lagi misalnya untuk mengikuti suatu perlombaan OSN saja, madrasah itu dibedakan dengan sekolah umum (hanya nomor lomba tertentu yang bisa diikuti oleh madrasah).
            Keberadaan madrasah, baik Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) maupun Madrasah Aliyah (MA), yang juga ikut andil dalam mencetak insan-insan yang juga bisa berperan dalam pembangunan daerah, seakan dilupakan. Yang mirisnya lagi, kita (sengaja atau tidak sengaja) terkadang menutup mata terhadap kenyataan ini dan terlanjur menganggap pendidikan itu hanya berada di sekolah umum. Padahal kalau kita bisa merenung sejenak, betapa berat perjuangan para pengelola madrasah dalam memajukan kualitas madrasah.
            Persoalan di atas bertambah pelik ketika adanya asumsi sebagian masyarakat yang memandang bahwa belajar di madrasah identik dengan belajar ilmu-ilmu agama saja. Selain itu ada juga asumsi bahwa madrasah itu identik dengan pinggiran kota (kampung), tidak terawat, dan dilengkapi peralatan yang kurang memadai. Selain itu ada juga yang menganggap madrasah itu adalah semangat rakyat kecil untuk mengenyam pendidikan. Sungguh ironis memang, tapi itulah faktanya.
            Faktor lain yang menyebabkan madrasah selalu “dinomorduakan” adalah kurang pekanya kita dalam menghargai upaya-upaya madrasah untuk mencerdaskan anak bangsa. Perumpamaannya adalah kita terkadang mengabaikan biaya pendidikan anak-anak ketika mereka menuntut ilmu di madrasah. Coba kalau kita rajin berkunjung ke madrasah dan melihat buku keuangan madrasah, maka akan kita dapati banyak sekali orang tua (walaupun tidak semuanya) yang mengabaikan biaya pendidikan anak-anaknya atau sering terlambat dalam membayar SPP anak mereka. Padahal sebagian besar guru di madrasah itu hanya mengandalkan biaya dari SPP tersebut.
Madrasah di Era Otonomi Daerah
            Semenjak digulirkan kebijakan otonomi daerah oleh pemerintah seakan menimbulkan asa yang selama ini tenggelam bagi pengelola madrasah. Dengan adanya Undang-undang tersebut diharapkan persolan selama ini yang menghinggapi madrasah dapat terselesaikan, karena secara logika ketika pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola rumah tangganya, maka seharusnya pemerintah daerah bebas menentukan siapa saja yang akan dibantunya.
            Namun harapan itu kembali tenggelam ketika Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri justru mengambil keputusan yang sangat tidak berpihak kepada madrasah, yaitu adanya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD. Surat edaran tersebut merujuk pada pasal 155 ayat 2 UU No. 32/2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah yang menyebutkan bahwa APBD tidak boleh digunakan untuk kegiatan vertikal, termasuk di antaranya alokasi anggaran untuk madrasah. Alasan yang lainnya dikemukakan bahwa madrasah itu berada di bawah naungan Kementerian Agama (dulu Departemen Agama) yang sifatnya vertikal.
            Persoalan vertikal dan horizontal ini memang selalu menjadi alasan pemerintah untuk tidak membantu madrasah dalam mengembangkan diri, atau kalaupun ada perhatian itu terjadi karena madrasah itu melakukan “pemberontakan”. Setelah adanya “pemberontakan” tersebut barulah madrasah diperhatikan dengan diberi bantuan gedung baru dan sebagainya. Namun bagi madrasah yang takut mereka tidak akan mendapatkan apa-apa, jangankan bantuan dana atau gedung baru untuk ikut dalam suatu kegiatan saja mereka terkadang harus “mengemis”.
            Akhirnya, hanya dengan adanya kerjasama antara berbagai pihak, baik itu pemerintah, masyarakat maupun pihak madrasah itu sendiri akan mampu menghilangkan diskriminasi terhadap madrasah. Untuk itu marilah kita bertekad untuk bersatu membangun lembaga pendidikan, baik itu negeri atau swasta di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional ataupun Kementerian Agama.***

Reformasi Metode Pembelajaran (Rubrik Opini Bangka Pos, 7/5/2011)


Ada yang menarik ketika membaca tulisan saudari Sri Rahayu di Bangka Pos, 3 Mei 2011 tentang Tantangan Guru Bersertifikat. Dalam tulisannya beliau mengangkat permasalahan yang memang sering terjadi pada beberapa orang pendidik (guru). Di antara permasalahan yang dikemukakan adalah masih kurang inovatifnya seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran apalagi guru itu sudah memiliki sertifikat mengajar atau sudah tersertifikasi. Hal tersebut memang wajar karena tujuan sertifikasi itu agar seorang pendidik bisa menjadi lebih baik lagi bukan jalan di tempat.
Permasalahan di atas sebenarnya bisa dicarikan solusinya jika seorang guru mau untuk melakukan berbagai perbaikan dalam mengamalkan empat kompetensi yang dimilkinya yaitu kompetensi paedagogik, professional, sosial dan kepribadian. Namun selain keempat kompetensi tersebut sebenarnya seorang pendidik (guru) juga bisa memanfaatkan adanya perubahan (baca: pembaharuan) kurikulum yang diterapkan di Indonesia. Sebagai contoh kurikulum yang sekarang dipakai di semua satuan pendidikan atau yang popular disebut dengan KTSP bisa dijadikan alat untuk melakukan reformasi dalam mengajar.  Pemberlakuan KTSP sebagai pengganti KBK karena dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dunia pendidikan. KTSP ini ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten yang cerdas dalam mengembangkan identitas budaya dan bangsanya. Kurikulum ini dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, pengalaman belajar, mengembangkan integritas sosial serta membudayakan karakter nasional. Juga untuk memudahkan guru dalam menyajikan pengalaman belajar yang sejalan dengan prinsip-prinsip belajar sepanjang hayat. (Muhammad Joko Susilo : 2006).
Adapun kelebihan-kelebihan KTSP dibandingkan KBK ini antara lain: Pertama mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan, kedua mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan, ketiga KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa.
Jadi jelaslah bahwa KTSP merubah paradigma sistem pengajaran. Paradigma yang dulunya berpusat pada guru menjadi berpusat pada murid, yang dulunya kerja mandiri  menjadi kerja kelompok, kemudian yang dulunya memberikan informasi sekarang bertukar informasi, dari belajar pasif berubah menjadi belajar aktif dan dari single media menuju ke multimedia.
Dengan adanya KTSP ini menuntut seorang guru untuk menyusun dan membuat rencana pembelajaran yang mampu menggali dan mengembangkan kemampuan peserta didik serta mampu membuat peserta didik mengaplikasikann pengetahuan yang telah diperolehnya di bangku sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari. Intinya KTSP ini menuntut guru untuk lebih kreatif lagi dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
Guru Inovatif
Selain permasalahan di atas, setidaknya ada satu kesalahan mendasar yang sering dilakukan oleh seorang guru dalam mengajar, yaitu model pembelajaran yang dikembangkan seorang guru terkadang tidak kreatif. Fakta bahwa model pembelajaran yang dikembangkan guru itu tidak kreatif adalah masih banyaknya guru menggunakan metode ceramah dalam mengajar. Akibatnya peserta didik tidak tertarik dan kurang tertantang untuk mengeksplorasi secara maksimal potensi kecerdasan yang dimilikinya. Peserta didik diperlakukan seperti kaset kosong yang tugasnya hanya merekam dan mengulang kembali apa yang disampaikan guru melalui ceramah-ceramahnya. Yang parahnya lagi semakin hebat peserta didik meniru apa yang diucapkan sang guru maka akan dinilai cerdas dan pintar, sebaliknya peserta didik yang kurang mampu menyajikan apa yang disampaikan guru maka dilabeli kurang cerdas.
Permasalahan di atas memang merupakan suatu yang tidak bisa dipungkiri. Namun terkadang memang karena tuntutan kurikulum dan tuntutan kebijakan yang membuat guru tidak bisa melakukan hal yang maksimal dalam mendidik peserta didik. Hal ini yang membuat guru itu bagai menghadapi buah simalakama. Penulis yakin semua guru mempunyai keinginan agar anak didiknya menjadi orang yang sukses dan dapat diandalkan dengan mempunyai kecerdasan pada semua dimensi pendidikan, dan juga semua guru pasti mempunyai keinginan untuk melakukan berbagai inovasi dan reformasi.
Terlepas dari berbagai argumen dan permasalahan di atas, sudah seharusnya seorang guru harus tetap optimis mampu memilih dan mengembangkan model pembelajaran yang inovatif. Seorang guru tidak boleh menjadi orang cengeng, mudah menyerah, pesimis dan kurang kreatif. Seorang guru harus terus menggali potensi yang ada pada peserta didik tanpa adanya rasa frustasi. Jadi selain bisa memanfaatkan perubahan kurikulum, seorang guru juga harus mampu membuat metode yang kreatif dan inovatif.
Di sinilah seorang guru (apalagi yang sudah bersertifikat) dituntut untuk dapat menjadi kreator, inovator, motivator, demonstrator, mediator, fasilitator serta evaluator. Untuk dapat melaksanakan peran tersebut diperlukan kreativitas guru dalam memilih strategi dan metode mengajar, serta mampu merancang dan mengembangkan model pembelajaran yang dapat merangsang peserta didik agar lebih antusias dalam mengikuti proses pembelajaran, sehingga nantinya hasil yang diharapkan akan terwujud. ***